DAMPAK KORUPSI TERHADAP EKONOMI

JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 2001


DAMPAK KORUPSI TERHADAP EKONOMI
Oleh : Agung Nusantara
STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK


Tulisan ini mengupas beberapa pemikiran teoritik maupun empirik yang berkaitan dengan dampak korupsi terhadap ekonomi dengan menggunakan acuan definisi korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang oleh aparat pemerintah, sebagaimana yang digunakan oleh World Bank.
Dari beberapa pemikiran awal tentang korupsi, korupsi mampu mendorong perekonomian. Namun studi lebih mendalam dan lebih terukur menunjukkan bahwa korupsi secara menyeluruh akan berdampak buruk pada perekonomian, khususnya menurunkan investasi domestik maupun asing, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan mengakibatkan penggelembungan pengeluaran pemerintah.


I. PENDAHULUAN
Sekitar empat dekade yang lalu, ilmuwan politik Colin Leys dengan nada keheranan menanyakan relevansi pendiskusian korupsi "what is the problem about corruption?". Dengan memberikan tekanan pada pendapat sosiolog Robert Merton dan ahli filsafat politik Niccolò Machiavelli, Leys berargumentasi bahwa korupsi memiliki peranan dalam menciptakan benefit. Dan dalam kondisi masyarakat yang akut tingkat korupsinya, korupsi lebih dari sekedar pencarian keuntungan yang bersifat individual tetapi sudah merupakan perilaku umum.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, diskusi tentang korupsi tahap kedua kembali marak. Diskusi yang diselenggarakan oleh Bank Dunia dan IMF menghasilkan laporan terintegrasi dari dua badan dunia tersebut, yaitu World Development Report edisi 1996 dan 1997. Demikian juga peranan lembaga swadaya masyarakat internasional, seperti Transparency International, Global Competitive Risk, yang bersama-sama dengan Organization for Economic Cooperation and Development's membuat resolusi tentang kriminalisasi korupsi. Bahkan The Financial Times menyatakan bahwa tahun 1995 adalah tahun korupsi, yang menandakan bahwa bukan hanya diskusi yang meningkat tetapi juga dilatar belakangi oleh peningkatan praktek korupsi secara internasional.
Ada beberapa latar belakang yang memungkinkan maraknya kembali diskusi tentang korupsi dan dikaitkan dengan semakin meningkatnya intensitas korupsi, yaitu (Tanzi, 1998): pertama, akhir dari era perang dingin antara barat dan timur memaksa para politisi menghentikan sikap hipokritnya terhadap keputusan-keputusan yang harus diterapkan dinegara-negara industri yang memiliki kecenderungan mengabaikan eksistensi political corruption.
Kedua, semakin banyak negara yang beralih ke sistem pemerintahan yang lebih demokratis, berdampak pada informasi menjadi semakin terbuka, dan membuka peluang bagi masyarakat luas untuk mendiskusikan persoalan korupsi yang sebelumnya dianggap sebagai topik yang tabu untuk dibicarakan.
Ketiga, globalisasi memungkinkan setiap elemen negara untuk lebih aktif bergabung dalam gerakan internasional, dan kondisi ini merupakan iklim sejuk bagi tumbuhnya lembaga swadaya masyarakat (Non-Govermental Organization) yang difungsikan sebagai watchdog, terutama bagi pemerintah.
Keempat, semakin ketatnya persaingan dalam bidang ekonomi membuat isu efisiensi menjadi sangat penting. Sehingga setiap negara, termasuk badan dunia yang terkait dalam bidang pembangunan, merasa perlu untuk menyingkirkan segala macam kegiatan yang dapat mendistorsi perekonomian menuju efisiensi, dan korupsi menjadi sasaran utama.
Kelima, peran yang dimainkan Amerika Serikat tidak dapat dipungkiri punya andil besar dalam menguak korupsi imnternasional. Menurut undang-undang Amerika Serikat, korupsi adalah tindakan kriminal, sehingga warga negara Amerika Serikat, dimanapun usaha yang dijalankannya, tidak terbebas dari ketentuan tersebut. Dalam sambutannya dihadapan Detroit Economic Club (25 Juli 1996), Michael Kantor, Secretary of Commerce, mengatakan bahwa pengusaha Amerika Serikat sejak 1994 mengalami kehilangan kontrak internasional sebesar US$ 45 milyar sebagai akibat keharusan membayar 'upeti' kepada aparat pemerintah setempat, yang dalam undang-undang di Amerika Serikat tidak dapat dimasukkan dalam unsur business cost.


II. KONSEP DASAR DAN PENGUKURAN


Merupakan upaya yang sangat sulit untuk dapat membuat sebuah definisi yang dapat memberikan pemahaman secara tepat tentang korupsi. Terdapat banyak perbedaan antara bentuk korupsi di negara maju dengan negara sedang berkembang, antara bentuk korupsi yang berada dalam tekanan politik atau korupsi yang memperlambat proses pertumbuhan ekonomi, dan dalam bentuk yang lebih 'ramah' lagi adalah korupsi yang muncul karena alasan-alasan ekonomi dan politis yang dilakukan oleh negara (Bardhan, 1997; Tanzi, 1998; Khan, 1998). Namun demikian, dari sekian banyak pendefinisian tentang korupsi yang ada dengan berbagai sudut pandang, terdapat beberapa definisi yang sering digunakan oleh para peneliti, yaitu antara lain:
"..government corruption as the sale by government officials of government property for personal gain." (Shleifer and Vishny, 1993)
"…as the violation of the formal rules governing the allocation of public resources by officials in response to offer of financial gain or political support." (Khan, 1998)
Dan yang paling sering dijadikan acuan adalah definisi tentang korupsi yang dibuat oleh World Bank
"..the abuse of entrusted power for personal gain or for the benefit of a group to which one owes allegiance".
Beberapa peneliti (misalnya: Thiele dan Eskeland) yang menggunakan acuan World Bank, seringkali menggunakan istilah "corruption" dengan "Collusion" secara bergantian, dengan pertimbangan bahwa istilah "corruption" cenderung terkait dengan "abuse of public office", sedangkan penggunaan istilah "collusion" lebih bersifat fleksibel karena dapat diterapkan pada perilaku penyalah gunaan wewenang oleh pihak swasta atau memanfaatkan sikap korup para aparat pemerintah. Berdasarkan definisi tersebut, korupsi akan terjadi apabila memiliki empat unsur: (a) public official, (b) discretionary power, (c) a misuse of that power by public official, dan (d) benefit resulting to that official (Langseth, Stapenhurst, and Pope, 1997).
Tidak semua bentuk korupsi dalam bentuk penyuapan (bribe) berupa uang. Sebagai contoh seseorang yang memiliki posisi yang berhadapan dengan kepentingan publik menggunakan waktu pelayanannya untuk kebutuhan pribadi, seorang pemimpin yang menggunakan aparat instansi atau kantor untuk digunakan atau dimanfaatkan secara pribadi. Dalam beberapa kasus terdapat kerancuan istilah antara penyuapan (bribe) dengan hadiah (gift). Dalam beberapa hal, kedua istilah tersebut dapat dibedakan dari sisi, penyuapan bersifat reciprocity sedangkan hadiah tidak. Sekalipun secara fundamental dapat dibedakan, namun kadang-kadang masih tetap menemui kesulitan untuk membedakannya. Sehingga muncul beberapa pertanyaan, apakah dengan demikian sebuah hadiah dapat berubah menjadi penyuapan? Apakah mengukur besarnya hadiah bisa dijadikan pembatas antara korupsi dan hadiah? Ataukah dapat dibedakan dari sisi cara pemberian yang terang-terangan atau yang bersifat tertutup?
Mitos bahwa korupsi merupakan "intrinsic nature" sehingga tidak mungkin diukur, menyebabkan persoalan korupsi menjadi semakin rumit. Seperti yang diungkapkan oleh Daniel Kaufmann (Wammey, 1999), karena anggapan seperti itu Afrika menjadi benua yang tidak memiliki harapan untuk terbebas dari tindak korupsi (menurut James Wolfenson, Presiden Bank Dunia, pada tahun 1998 di Afrika total foreign private capital flows sebesar US$ 300 milyar, namun yang berbentuk direct investment hanya US$ 2,6 milyar). Rumitnya persoalan korupsi juga ditunjang dengan ketiadaan data empiris yang jelas sehingga memberikan peluang bagi para politisi korup untuk menutupi tindakannya dengan alasan politis.
Sebagaimana halnya kasus pornografi yang sempat merebak beberapa waktu lalu, korupsi juga mengalami persoalan pada sisi ukuran kuantitatif. Sehingga muncul jargon "you know it when you see it". Namun demikian, korupsi hanya pantas dijadikan anekdot apabila tidak disertai dengan pemahaman ukurannya. Presentasi Daniel Kaufmann pada The Gore Anti-Corruption Conference menggaris bawahi bahwa korupsi dapat diukur keberadaannya dengan memberikan tekanan pada partisipasi masyarakat secara luas. Di negara-negara yang sedang mengalami perubahan perekonomian, korupsi dapat diukur dengan menggunakan hasil survei rumah tangga, dunia bisnis dan aparat pemerintah. Faktor pengukuran ini merupakan salah satu elemen penting dalam upaya pengambilan tindakan untuk pemberantasan korupsi, sebagaimana diungkapkan Al Gore dalam konferensi tersebut:
" …..The number one force in our favor in the fight against corruption is our ever expanding access to information…….. The core of accountability is the fusion of information and action. Action on part of public officials, private citizens, businesses, and non-governmental organizations."
Sampai saat ini banyak versi yang mengukur korupsi dari berbagai sudut pandang. Beberapa ukuran yang sering digunakan dalam hubungan antara korupsi dengan ekonomi akan diuraikan dalam tulisan ini, yaitu: Business International Index (BI), International Country Risk Guide Index (ICRG), Global Competitiveness Report Index (GCR), dan Transparency International Index (TI).
Business International Index. Indeks ini didasarkan atas survei terhadap konsultan atau expert (biasanya satu konsultan untuk satu negara) yang disusun selama kurun waktu 1980 - 1983 oleh Business International, yang saat ini berubah menjadi Economist Intelligence Unit. BI menyusun negara-negara obyek pengamatan dalam sepuluh kategori yang disusun berdasarkan derajad keterlibatan transaksi bisnis dalam korupsi atau pembayaran-pembayaran yang dipertanyakan.
International Country Risk Guide Index. Laporannya dibuat setiap tahun sejak 1982 oleh Political Risk Service, yaitu suatu jasa yang diarahkan untuk melayani informasi tentang resiko suatu negara bagi private international investment. ICRG indeks didasarkan atas opini ahli untuk menangkap secara luas "high government officials are likely to demand special payment" dan "illegal payments are generally expected throughout lower levels of government: dalam bentuk penyuapan yang terkait dengan lisensi ekspor atau impor, tax assessments, perlindungan polisi maupun pinjaman.
Global Competitiveness Report Index. Indeks ini didasarkan atas survei yang dilakukan oleh manager perusahaan, yang disponsori oleh World Economic Forum, konsorsium perusahaan-perusahaan Eropa, dan didisain oleh Harvard Institute for International Development. Survei tersebut mempersoalkan respon perusahaan tentang berbagai aspek persaingan yang ada di negara tempat perusahaan tersebut menginvestasikan dananya. Perusahaan yang terlibat dalam survei ini sebanyak 2381 perusahaan yang terletak di 58 negara menjawab pertanyaan seputar tingkat korupsi yang dirangking dalam tujuh skala dengan penekanan pada aspek tingkat ketidak teraturan tindak korupsi, tambahan-tambahan biaya dalam perijinan ekspor-impor, lisensi bisnis, exchange controls, tax assessments, kepolisian, dan aplikasi pinjaman.
Transparency International Index. Dibuat secara berkala tahunan sejak 1995 oleh Transparency International, yaitu suatu lembaga sosial non pemerintah yang memerangi korupsi secara internasional. Indeks ini didasarkan atas rata-rata tertimbang dari sepuluh model survey yang dilakukannya dengan membuat skala negara-negara korup menjadi tujuh skala. Sebagai sebuah survei, survei yang dilakukan oleh TI memiliki kekuatan dan kelemahan. Jika pengukuran kesalahan (error) disurvei yang berbeda adalah kesalahan yang bersifat independen dan terdistribusi secara jelas (Independent and Identically Distributed, atau IID), maka proses perhitungan yang digunakan TI mungkin akan mengurangi kesalahan pengukuran, tetapi apabila syarat IID dilanggar maka akan memperbesar kesalahan pengukuran (Wei, 1999).


III.DAMPAK KORUPSI TERHADAP EKONOMI : ARGUMENTASI TEORITIK

Pandangan para ahli tentang dampak korupsi terhadap ekonomi pada awalnya sangat beragam, namun akhirnya tingkat keberagaman tersebut semakin menciut dengan semakin banyaknya studi yang lebih terukur tentang korupsi diberbagai aktifitas ekonomi. Leff (1964) dan Huntington (1968) berpandangan bahwa korupsi mampu meningkatkan efisiensi birokrasi sebab birokrasi pemerintah pada dasarnya sangat kaku untuk dapat melayani permintaan pelayanan publik yang sangat beragam, menghalangi upaya perluasan investasi dan menggangu jalannya proses pengambilan keputusan ekonomi. Sehingga korupsi cenderung dipandang sebagai "oils the mechanism" atau "greases the wheel". Alasan tersebut sering digunakan untuk menjelaskan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi di negara Asia Tenggara.
Beck dan Maher (1986) dan Lien (1986) telah mengembangkan model teoritis yang mampu menunjukkan bahwa, yang berani menawarkan uang suap tertinggi adalah mereka yang berada pada posisi efisiensi usaha yang terbaik. Namun, studi teoritik Bliss dan Di Tella (1997) menunjukkan kesimpulan yang berbeda. Bliss dan Di Tella menyimpulkan bahwa korupsi akan mempengaruhi jumlah perusahaan yang akan memasuki pasar. Dan dalam kondisi persaingan yang ketat, yang ditandai dengan rasio overhead cost terhadap profit yang rendah dan globalisasi membuat struktur biaya relatif sama, maka peningkatan korupsi akan membuat perekonomian negara tersebut tidak menarik.
Melalui sudut pandang yang agak berbeda, Lui (1985) berargumentasi bahwa nilai waktu bagi tiap individu dapat berbeda-beda, dan sangat tergantung pada tingkat pendapatan, dan opportunity cost-nya. Bagi orang yang menilai waktu sangat tinggi maka proses yang panjang dapat dipersingkat dengan upaya penyuapan agar dapat secepatnya sampai pada yang dituju. Sehingga korupsi dipandang efisien karena dapat mempersingkat waktu.
Dalam studi selanjutnya, Lui (1996) berpandangan bahwa korupsi juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki alokasi sumber daya. Pemikiran tersebut sejalan dengan Becker dan Stigler (1974) yang menyatakan bahwa upaya penyuapan dapat dipandang sebagai upaya perbaikan upah yang rendah tanpa harus membebani anggaran pemerintah sehingga tidak berdampak pada peningkatan beban pajak. Pemikiran Becker dan Stigler tersebut dapat dimasukkan dalam kerangka berpikir "second-best solution", memandang bahwa beban pajak yang rendah akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh praktek korupsi.
Sebuah studi teoritik yang relatif baru dari sisi metodologi dilakukan oleh Dabla-Norris (2000). Dengan menggunakan dasar pemikiran game-theory, Dabla-Norris membuat beberapa kesimpulan penting tentang korupsi yang terkait dengan birokrasi. Kesimpulan pertama, negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memiliki tingkat upah yang rendah di sektor publik disertai dengan tingkat pengawasan yang lemah, sehingga dimungkinkan terjadinya komersialisasi kekuasaan. Kedua, terjadi trade off yang semakin tinggi khususnya di negara sedang berkembang dan negara transisi, antara upaya mereduksi korupsi dan beban fiskal. Ketiga, negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki kecederungan memiliki aktifitas sektor swasta yang rendah.
Pemikiran yang masih bersifat teoritis tersebut nampaknya memiliki logika penjelasan yang menarik. Namun, menurut Vito Tanzi (1998) penjelasan teoritik tersebut memiliki beberapa titik lemah. Pertama, rigiditas dan peraturan-peraturan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan dari masyarakat. Masyarakat tidak dilahirkan dalam ketidak mampuan untuk menyesuaikan diri. Pada kenyataannya, masyarakat menciptakan peluang untuk korupsi akan tetapi mereka juga berusaha secara intensif untuk membongkar praktek korupsi.
Kedua, pandangan bahwa mereka yang melakukan penyuapan dalam jumlah terbesar mencerminkan tingkat efisiensi usaha tertinggi bukan merupakan keniscayaan. Mereka yang melakukan penyuapan tertinggi bukanlah yang paling efisien tetapi orang yang paling sukses dalam mengambil keuntungan pada kondisi ekonomi rente. Baumol (1990), dan Murphy, Shleifer, dan Vishny (1991) berargumentasi bahwa dalam masyarakat yang korup mengejar keuntungan dari "socially productive activities" akan tergeser ke arah "rent-seeking activities" yang pada akhirnya akan merusak kesejahteraan masyarakat melalui efek deadweight loss.
Ketiga, penyuapan mungkin akan mendorong birokrasi untuk memperlambat kerja birokrasi selama proses penyuapan berlangsung. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Myrdal (1968) penyuapan mungkin akan memperlancar kinerja birokrasi, akan tetapi mungkin juga secara rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian pelayanan birokrasi akan melambat. Dan mungkin korupsi dapat menjadi upaya mendorong peningkatan pendapatan dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang persoalan menjadi semakin pelik.


IV.DAMPAK KORUPSI TERHADAP EKONOMI : ARGUMENTASI EMPIRIK

Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hasil studi ekonometrik tentang korupsi yang terkait dengan pembangunan ekonomi, khususnya yang terkait dengan investasi domestik, investasi asing, pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah.
Investasi Domestik. Dalam New World Times, April 24 1998 (Wei, 1999) pernah diungkapkan tentang kehancuran bisnis skala kecil di China. Huang Shengxin, seorang penerima medali militer klas III meninggalkan dunia militer tahun 1982, untuk menjadi seorang wirausahawan di Propinsi Guangxi kota Fangchenggang China barat daya. Dia mendirikan restoran Changxin yang berkembang dengan baik serta memiliki reputasi yang mengantarkannya menerima penghargaan dari pemerintah lokal. Dan lebih jauh lagi, Huang Shengxin dinobatkan sebagai pekerja teladan tingkat nasional atas sukses bisnisnya tersebut.
Namun meroketnya reputasi restoran Huang merupakan awal bencana, ketika para birokrat dan para rekanannya menjadi 'pelanggan' restoran Huang. Mereka selalu mengunjungi restoran tersebut ketika melewati kota Fangchenggang, dan membayar tagihan kurang dari yang seharusnya dibayarkan dengan mengatas namakan 'kerja untuk pemerintah'. Menurut perhitungan Huang, sampai dengan bulan Februari 1997, tagihan yang seharusnya dibayar oleh kantor pemerintah lokal Tanying adalah sebesar 80,665 Yuan (US$ 1 = 8.3 Yuan), namun tagihan tersebut tidak pernah dibayar. Pada 20 Mei 1997 restoran Huang tidak mampu lagi melanjutkan usahanya, dan akhirnya 'Changxin Restaurant' ditutup.
Berangkat dari tragedi tersebut bisa dilihat hasil riset yang dibuat oleh Paolo Mauro (1995), yang menunjukkan bukti empiris tentang dampak korupsi terhadap perkembangan rasio total investasi terhadap GDP. Mauro (1995) menggunakan data cross-section dalam rentang waktu 1980-1985. Hasil regresi tersebut menunjukkan slope koefisien korupsi adalah sebesar 0.0117. Ilustrasi kuantitatif yang dapat dibuat dengan mendasarkan diri pada hasil regresi tersebut adalah: jika Indonesia dapat menurunkan tingkat korupsinya hingga setingkat dengan Singapura pada periode 1985 (Indonesia memiliki indeks korupsi 1,5 dan Singapura 10 dari skala 1-10 sebagaimana yang dibuat oleh Business International) maka dapat terlihat bahwa akan terjadi lonjakan rasio total investasi terhadap GDP sebesar (10-1,5)*0,0117 = 9,98% dengan catatan faktor lainnya konstan. Apabila dicermati lebih serius lagi, studi Mauro (1995) yang melibatkan variabel linguistic dan ethnic fractionalization untuk variabel dependen yang sama, yaitu rasio total investasi terhadap GDP, maka dampak korupsi akan semakin meningkat, yaitu menjadi 0,0276 (untuk mencermati hasil perhitungan regresi lihat: Mauro, 1995, tabel VI).
Investasi Asing. Dengan menggunakan data set penanaman investasi asing yang bersifat bilateral pada awal 1990-an terhadap empat belas negara donor untuk empat puluh satu negara penerima investasi, Wei (1997) memperoleh bukti bahwa korupsi di negara penerima akan berdampak menurunkan investasi asing, yang menurut perhitungan Wei koefisien korupsi dan negara penerima adalah sebesar -0,09 dan -1,92. Dengan menggunakan dasar perhitungan Wei tersebut, maka apabila pada 1997 tingkat korupsi Indonesia berada pada level 1,5 berdasarkan Business International Index (BI), atau 1,172 berdasarkan Transparency Index (TI), atau 1,206 berdasarkan Global Competitiveness Report Index (GCR), dapat mensejajarkan diri dengan Singapura yang berdasarkan BI memiliki indeks 10, berdasarkan TI memiliki indeks 7,66, dan berdasarkan GCR memiliki indeks 8,23, maka dapat penurunan marginal corporate tax rate sebesar (10-1.5).00,9/(0,01.1,92) = 39.84% berdasarkan BI, atau 30,41% berdasarkan TI, atau 32.92% menurut GCR.
Di sisi lain banyak negara Asia yang menawarkan daya tarik negaranya untuk menggaet investasi asing melalui tax holiday yang berkisar dua sampai tiga tahun, dan bahkan masih ditamban dengan tiga tahun berikutnya masih dikenakan pajak 50% dari normal tax rate. Dengan mempertimbangkan hasil studi Wei (1997) tadi maka Asia dapat menjadi daya tarik bagi investasi sekalipun tanpa memberikan tax holiday bila korupsi dapat dikontrol.
Studi lain yang menarik untuk dikemukakan adalah studi Ades dan Di Tella (1997) yang mengamati dampak korupsi terhadap investasi dan pengeluaran untuk research and development (R&D) pada sektor industri. Dengan menggunakan model regresi (lihat: Ades and Di Tella, 1997: tabel 5) terbukti bahwa variabel korupsi (CORRWCR) menunjukkan dampak negatif dan signifikan terhadap investasi dan pengeluaran aktifitas R&D. Dengan menggunakan beberapa alat kontrol dalam aplikasi regresi berupa "control for random effect" dan "control for year fixed effect",. Studi Ades dan Di Tella (1997) mampu menunjukkan estimasi total effect korupsi terhadap investasi dan aktifitas R&D. Kesimpulan studi tersebut adalah bila kebijakan sektor industri tercemari oleh korupsi, maka akan berdampak negatif terhadap investasi sebesar 56%, secara langsung dengan menggunakan control for random effect, sedangkan bila menggunakan control for year fixed effect akan berdampak 84%. Secara sederhana dapat diterjemahkan, bila dampak rata-rata korupsi terhadap investasi ditetapkan (control for random effect) maka secara agregat korupsi punya andil 56% dalam proses penurunan investasi sektor industri. Sedangkan apabila kondisi korupsi pada suatu waktu tertentu dianggap konstan (control for year fixed effect) maka dampaknya akan sebesar 84% dalam proses penurunan investasi. Dan dampak terhadap aktifitas R&D adalah sebesar 50% dan 82%.
Temuan yang hampir serupa dengan Ades dan Di Tella dapat ditemui pada studi Smarzynska dan Wei (2000) tentang korupsi dan komposisi foreign direct investment pada tingkat mikro. Kesimpulan yang berhasil disusun adalah korupsi membuat local bureaucracy menjadi semakin tidak transparan yang mengakibatkan komposisi investasi suatu usaha joint venture lebih condong ke investasi domestik. Hal ini disebabkan investor asing yang datang dengan investasi tinggi dan membawa teknologi tingkat tinggi merasa tidak nyaman dengan ketidak transparanan birokrasi.
Pertumbuhan Ekonomi. Apabila korupsi dapat mengurangi investasi domestik dan investasi asing, satu hal yang pasti dapat juga terjadi adalah korupsi akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan oleh Paolo Mauro (1995) menyelidiki kondisi pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh korupsi. Indeks korupsi yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi memiliki angka koefisien 0,003 (lihat: Mauro, 1995: tabel VII). Angka tersebut dapat diartikan bila Indonesia mampu menurunkan tingkat korupsi hingga level Singapura, maka akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,25 persen. Jadi apabila pada tahun 1980-1983, perekonomian Indonesia secara riil tumbuh sebesar 5%, maka apabila korupsi bisa dikontrol maka pertumbuhan ekonomi akan sebesar 7.25%.
Mendukung studi Mauro (1995), studi empirik yang dilakukan oleh Bríxíová dan Bulíø (2001) menunjukkan bahwa pada negara yang sangat rentan terhadap korupsi, yaitu negara yang menerapkan bureaucratic economic system, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cenderung menurun. Perlu dicatat, bahwa Bríxíová dan Bulíø (2001) menggunakan indikator net-material product, yaitu data produksi dalam bentuk fixed price yang dipublikasikan oleh United Nations Statistical Office selama kurun waktu 1949 - 1989.
Pengeluaran Pemerintah. Tanzi dan Davoodi (1997) melakukan studi yang sistematik terhadap dampak korupsi terhadap keuangan publik. Terdapat beberapa temuan penting dari hasil studi tersebut, yaitu (a) korupsi memiliki kecenderungan untuk meningkatkan ukuran public investment, sebab pengeluaran publik meningkat karena praktek manipulasi yang dilakukan oleh pejabat tinggi, (b) korupsi akan mampu mengubah komposisi pengeluaran pemerintah dari pengeluaran yang bersifat pengoperasian dan pemeliharaan menjadi pengeluaran yang bersifat pembelian barang-barang baru, (c) korupsi memiliki kemungkinan untuk membelokkan komposisi pengeluaran publik dari pengeluaran untuk proyek-proyek publik ke aktifitas pembangunan yang tidak langsung terkait dengan publik dengan alasan proyek yang terkait langsung dengan masyarakat relatif lebih sulit untuk menerapkan rente, kesimpulan yang sama juga dapat ditemui pada Klitgaard (2000), (d) korupsi akan mengurangi produktifitas investasi publik dan infrastruktur, (e) korupsi akan menurunkan penerimaan pajak sebab kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan pajak dan tarif, secara riil sangat tergantung pada nominal tax rate dan rumitnya peraturan perpajakan yang pada akhirnya akan 'disederhanakan' oleh petugas pajak dilapangan (lihat juga: Toye and Moore, 1998).


V. PENUTUP


Korupsi memang merupakan persoalan yang multi-facet. Seseorang atau sekelompok orang dapat saja berpendapat bahwa praktek korupsi membuat mereka lebih baik secara ekonomi, namun dampak korupsi secara keseluruhan terhadap pembangunan ekonomi adalah negatif.
Beberapa riset yang terukur telah memberikan bukti bahwa negara-negara korup berada pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Korupsi membuat investasi domestik menjadi berkurang, menurunkan investasi asing, menggelembungkan pengeluaran pemerintah dan mendistorsi komposisi pengeluarannya untuk hal-hal yang tidak terlalu penting, sehingga preferensi masyarakat yang tercermin dari jasa publik yang diinginkannya tidak terpenuhi.

KEPUSTAKAAN :


Ades, A., and R. Di Tella, 1997, National Champions and Corruption: Some Unpleasant Interventionist Arithmetic, The Economic Journal (July): 1023-1042.
Bardhan, P., 1997, Corruption and Development: A Review of Issues, Journal of Economic Literature, Vol. XXXV (September): 1320-1346.
Baumol, W.J., 1990, Entrepreneurship: Productive, Unproductive, and Destructive. Journal of Political Economy, Vol.98 (October): 893-921.
Beck, P.J., and M.W. Maher, 1986, A Comparison of Bribery and Bidding in Thin Markets, Economic Letters, Vol. 20 No.1: 1-5
Bliss, C. and R. Di Tella, 1997, Does Competition Kill Corruption?, Journal of Political Economy (December), 5 (105): 1001-1023
Brixiová, Z., and A. Bulíø, 2001, Growth Slowdown in Bureaucratic Economic Systems: An Issue Revisited, IMF Working Paper, WP/01/6.
Dabla-Norris, E., 2000, A Gamr-Theoritic Analysis of Corruption in Bureaucracies, IMF Working Paper, WP/00/106.
Khan, M.Q., 1998, Patron-Client Networks and the Economic Effects of Corruption in Asia, The European Journal of Development Research, Vol. 10 No. 1 (June): 15-39.
Klitgaard, R., 2000, Subverting Corruption, Finance and Development, Vol. 37 No. 2 (June): 2-5.
Lambsdorff, J.G., 2000, Background Paper to the 2000 Corruption Perceptions Index: Frame Work Document, http:\\www.ifs.univie.ac.at/~uncjin/wcs.html.
Langseth, P., R. Stapenhurst, and J. Pope, 1997, The Role of a National Integrity System in Fighting Corruption, The Economic Development Institute of the World Bank.
Lien, D.H.D., 1986, A Note on Competitive Bribery Games, Economic Letters, Vol. 22 No.4: 337-341.
Lui, F., 1985, An Equilibrium Queuing Model of Bribery, Journal of Political Economy, Vol. 93 No. 4 (August): 760-781.
Lui, F., 1996, Three Aspects of Corruption, Contemporary Economic Policy, Vol. 14 (July): 26-29.
Mauro, P., 1995, Corruption and Growth, The Quaterly Journal of Economics (August): 681-711.
Murphy, K.M., A. Shleifer, and R.W. Vishny, 1991, The Allocation of Talent: Implication for Growth, Quaterly Journal of Economics, Vol. 106 (May): 503-530.
Shleifer, A., and R.W. Vishny, 1993, Corruption, The Quaterly Journal of Economics (August): 599-617.
Tanzi, V., 1998, Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures, IMF Staff Papers, Vol. 45 No. 4 (December): 559-594.
Tanzi, V., and H. Davoodi, 1997, Corruption, Public Investment, and Growth. IMF Working Paper, WP/97/139.
Toye, J., and M. Moore, 1998, Taxation, Corruption and Reform, The European Journal of Development Research, Vol. 10 No. 1 (June): 61-84.
Wamey, J.M., 1999, Can Corruption be Measured? Bank Offers Diagnostic Tools to Measure and Combat Corruption in Member Countries. Bank's World, Vol.3 No.6, Website: http\\www.ext/worldbank.org/bw7.
Wei, S.J., 1997, How Taxing is Corruption on International Investors?, The National Bureau of Economic Research Working Paper 6030 (May).
Wei, S.J., 1999, Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor Annoyance, or Major Obstacle?, World Bank Policy Research Working Paper (Februari), 2048.
World Bank, 2001, Governance and Public Sector Reform: Indicators of Governance and Institutional Quality, http:\\ www.worldbank.org/publicsector/indicators.htm

Postingan populer dari blog ini

MENGELOLA STRES KERJA

Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Metode Kerja Kelompok

PERBEDAAN KARAKTERISTIK JASA DIBANDINGKAN PRODUK MANUFAKTUR IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI KOMUNIKASI JASA