ASPEK MONETER, FINANSIAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI Kontroversi Teoritis dan Bukti Empiris Lintas Negara

JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, SEPTEMBER 1999
ASPEK MONETER, FINANSIAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI Kontroversi Teoritis dan Bukti Empiris Lintas Negara

Oleh : Agung Nusantara
STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK
Studi ini mengulas perdebatan teoritis tentang dampak kebijakan moneter dan finansial dalam pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya perdebatan berakar dari dua kutub pemikiran yaitu Prior Saving Approach dan Forced Saving Approach.
Studi ini juga akan mencari pembuktian empiris melalui analisis korelasi dan kausalitas Granger untuk melihat hubungan antara variable inflasi « pertumbuhan ekonomi dan ekspansi moneter « pertumbuhan ekonomi

Pengantar
Salah satu tujuan pembangunan suatu negara adalah peningkatan pendapatan riil per kapita secara berkelanjutan ). Akan tetapi tidak terdapat kesepakatan mengenai mekanisme peningkatan pendapatan per kapita secara cepat dan berkelanjutan kecuali beberapa pendekatan ekonomi yang berkaitan dengan pembentukan modal dan penggunaan modal secara efektif ).
Walaupun investasi telah diidentifikasi sebagai faktor yang berpengaruh kuat terhadap pertumbuhan, namun kontroversi tetap saja muncul khususnya mengenai kehandalan pendekatan investasi finansial. Secara umum, pendekatan investasi finansial dapat diidentifikasi dalam dua bentuk, yaitu Prior Savings Approach (PSA) dan Forced Savings Approach (FSA). Pendekatan PSA memandang bahwa inflasi tidak diperlukan untuk pertumbu.han ekonomi. Sebab investasi merupakan alternatif penggunaan pendapat selain konsumsi. Mereka percaya bahwa investasi yang dibentuk tanpa melalui tabungan terlebih dahulu tidak dapat dianggap sebagai investasi finansial dan hanya akan mendorong inflasi (Khatkhate, 1972).
Di sisi lain, para pengikut mashab Keynes tidak menganggap dorongan pembentukan tabungan sebagai faktor penentu investasi yang akan mendorong pertumbuhan. Sesuai dengan pandangan tersebut, investasi dapat ditingkatkan secara otonom oleh pemerintah, tanpa harus mendorong terjadinya tabungan, dengan cara ekspansi moneter. Melalui cara ini, diharapkan akan tercipta tabungan melalui empat cara. Pertama, jika sumber daya belum secara penuh terpakai, kebijakan moneter akan meningkatkan permintaan agregat sehingga meningkatkan output dan menciptakan tabungan. Kedua, apabila sumber daya telah digunakan secara penuh, atau jika penawaran bersifat kaku, sebagaimana diperkirakan akan dialami oleh negara sedang berkembang ekspansi moneter akan mendorong inflasi. Inflasi ini akan menurunkan real rate of return investasi finansial sehingga mendorong para pemegang saham untuk mengubah portofolio dalam bentuk barang modal (physical capital). Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan intensitas kapital yang berakhir dengan adanya peningkatan output dan tabungan. Ketiga, Inflasi dapat juga meningkatkan tabungan melalui perubahan yang terjadi dalam distribusi pendapatan, terutama bagi para penerima pendapatan yang berasal dari profit. Keempat, inflasi memberi tekanan pada pajak terhadap real money balances dan transfer sumber daya oleh pemerintah untuk pembiayaan investasi.
Kepastian peranan kebijakan moneter dalam pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada ketepatan kedua pendekatan tersebut (atau kombinasi antara keduanya) pada situasi dan kondisi negara sedang berkembang. Apabila mengacu pada pemikiran FSA, maka investasi, dan bukan tabungan, merupakan kendala penciptaan pertumbuhan. Tingkat bunga yang rendah sangat diperlukan untuk mendorong investasi masyarakat. Selanjutnya, inflasi mampu menekan tingkat bunga riil berada pada titik yang rendah, sehingga inflasi dipandang sebagai harga yang harus dibayar untuk usaha menumbuhkan perekonomian. FSA merupakan pendekatan yang menganjurkan financial repression. Hal sebaliknya, apabila mengacu pada PSA. Peranan kebijakan moneter, menurut PSA, akan mampu memobilisasi tabungan dan menyalurkan nya kedalam investasi yang produktif dengan tetap membiarkan inflasi berada pada tingkat yang rendah, sehingga tingkat bunga riil selalu positif. Pemikiran PSA merupakan dasar pemikiran financial liberalisation.
Uang danPertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena yang dinamis dan terkait dengan perubahan variabel ekonomi riil. Pertanyaan pokok yang ada dalam monetary growth theory adalah apakah uang memiliki pengaruh terhadap variabel riil dalam proses pertumbuhan ekonomi. Jawaban pertanyaan tersebut dapat ditemukan pada dua konsep netralitas uang, yaitu Neutrality of Money dan Superneutrality of Money.
Neutrality of Money. Salah satu asumsi yang fundamental di ekonomi moneter adalah bahwa uang memiliki sifat netral terhadap ekonomi riil, yaitu output dan tenaga kerja. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam teori permintaan uang Klasik bahwa perubahan jumlah nominal uang menyebabkan perubahan yang proporsional pada tingkat harga, sedangkan variabel riil, output, kesempatan kerja serta suku bunga ril tidak terpengaruh.
Fisher pernah mengungkapkan adanya non-neutrality dalam jangka pendek yang dapat menimbulkan fluktuasi tingkat bunga riil, yang olehnya disebut dengan konsep money illusion. Sebagaimana diungkapkan oleh Fisher (Hossain and Chowdhury, 1996:18):
"...the erratic behaviour of real interest is evidently a trick played on the money market by the money ilusion when contracts are made in unstable money..."
Namun, keberadaan money illusion dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas asumsi homogeneity postulate, sebagaimana dikembangkan oleh Haberler, Leontief, dan Modigliani, yang sebenarnya diperoleh dari pernyataan bahwa fungsi permintaan dan penawaran barang dan jasa adalah homogen pada derajad nol terhadap harga uang yang termasuk di dalamnya jumlah aset finansial.
Permasalahan non-neutrality of money dalam jangka pendek dipopulerkan oleh para pengikut Keynes. Perhatiannya awal mengenai non-neutrality of money dimulai pada saat terdapat kecenderungan dalam kondisi underemployment peningkatan tingkat harga tidak mengakibatkan peningkatan secara proporsional terhadap jumlah uang yang beredar, namun berakibat pada peningkatan jumlah uang beredar dalam arti riil, tingkat bunga menurun, serta peningkatan investasi dan output riil. Mashab Klasik menerima pandangan Keynes bahwa permintaan tenaga kerja tergantung pada upah riil dan upah nominal lebih tidak fleksibel daripada harga. Sehingga ekspansi moneter akan meningkatkan tingkat harga dan meningkatkan output sebab terjadi penurunan di sisi upah riil. Akan tetapi, asumsi Keynes mengenai kekakuan upah nominal sering kali diinterpretasikan sebagai dasar dari keberadaan money illusion yang dialami oleh para pekerja. Leontieff memberikan penafsiran teori Keynes tersebut, bertitik tolak dari pendapat bahwa penawaran tenaga kerja tergantung pada tingkat upah nominal. Sehingga, apabila terjadi peningkatan harga maka tingkat upah nominal akan meningkat, yang berarti juga tingkat penawaran tenaga kerja mengalami peningkatan. Peningkatan penawaran tenaga kerja ini terjadi karena pekerja tidak melihat bahwa peningkatan upah nominal, dalam waktu yang bersamaan, disertai penurunan upah riil. Sehingga, penawaran tenaga kerja meningkat sehubungan dengan peningkatan permintaan, yang tanpa disadari oleh pekerja, mereka mengalami money illusion. Pemikiran alternatif tentang perilaku penawaran tenaga kerja dikemukakan oleh Leijonhufud. Leijonhufud berpendapat bahwa peningkatan penawaran tenaga kerja pada saat terjadi peningkatan harga bukan didasarkan atas identifikasi irrasional hubungan upah riil - nominal, namun keputusan itu dibuat berdasarkan fakta bahwa informasi tidak sempurna, sehingga perlu waktu untuk melakukan penyesuaian diri dan mempelajari situasi untuk kemudian melakukan penilaian terhadap nilai uang yang baru.
Golongan Moneteris memiliki pemikiran bahwa dalam jangka pendek uang berpengaruh terhadap ekonomi riil. Sebagaimana yang dikemukan oleh Friedman (1992: 260):
"... in the short run, which may be as long as three to ten years, monetary changes affect primarily output. Over decades, on the other hand, the rate of monetary growth affects primarily prices."
Akan tetapi, Friedman menerima pemikiran bahwa dalam jangka pendek non-neutrality of money tidak didasarkan atas money illusion tapi lebih didasarkan atas peningkatan kesalahan ekspektasi atau adanya informasi yang tidak sempurna. Sebagaimana yang ditulisnya (Friedman, 1992: 258):
"...Over short periods, an unanticipated increase in inflation reduces real wages as viewed by employers, inducing them to offer higher nominal wages, which workers erroneously view as higher real wages. This discrepancy simultaneously encourages employers to offer more employment and workers to acept more employment, there by reducing unemployment, which produces the inverse relation encapsulated in the Phillips curve."
Superneutrality of Money. Neutrality of money memiliki keterkaitan yang sangat dekat dengan konsep superneutrality of money. Superneutrality of money mengharapkan tingkat bunga riil, intensitas kapital dan output riil per kapita bersifat independen terhadap inflasi dan pertumbuhan uang beredar.
Pertumbuhan uang beredar berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi melalui dampaknya terhadap tingkat bunga riil dan akumulasi kapital (Metzler, 1951). Metzler berargumentasi bahwa tingkat bunga riil merupakan fenomena moneter dan peningkatan pertumbuhan uang nominal dapat berpengaruh pada akumulasi kapital. Berkaitan dengan pendapatnya tersebut, bank sentral dapat mempengaruhi tingkat bunga riil melalui money market operation (Meltzer, 1951: 112):
"...by purchasing securities, the central bank can reduce the real value of private wealth, thereby increasing the propensity to save and causing the system to attain a new equilibrium at a permanently lower interest rate and a permanently higher rate of capital accumulation."
Salah satu kritik terhadap pemikiran Meltzer tersebut adalah bahwa Meltzer tidak mempertimbangkan pengaruh inflasi terhadap tingkat bunga dan tidak membedakan antara tingkat bunga riil dan nominal (Orphanides and Solow, 1990).
Dengan menggunakan model pemikiran Meltzer, Mundell (1963, 1965) membuktikan bahwa inflasi yang terantisipasi meningkatkan tingkat bunga nominal dengan tingkat inflasi yang rendah dan tingkat bunga riil yang rendah pula akan memberikan daya dorong terhadap investasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Kelemahan yang ditunjukkan oleh studi Mundell tersebut adalah tidak dilihatnya pengaruh inflasi yang terantisipasi terhadap variabel riil dalam kondisi steady state, walaupun Mundell mengklaim bahwa berbagai perubahan yang terjadi pada tingkat bunga riil bersifat permanen. Studi lain yang berkaitan dengan ekspansi moneter, inflasi dan pertumbuhan melalui capital-intensity effect dikembangkan oleh James Tobin (1965). Dalam kenyataannya, literatur modern mengenai uang dan pertumbuhan dimulai oleh Tobin yang menentang superneutrality of money.
The Tobin Model. Model Tobin didasarkan atas model pertumbuhan satu sektor neoklasik dari Solow dan Swan, yang kemudian dirasionalisasikan dengan FSA untuk pembangunan finansial.
Dengan dasar asumsi bahwa per kapita output (y) tergantung pada rasio kapital-tenaga kerja
(k): Y = y(k) dimana dy/dk > 0 dan d²y/d²k < w =" k" m =" m"> 0 dan dm/d(rk+p) < p =" m" yd =" y" m =" p" yd =" y(" p =" m" y =" y" y =" y" yd =" y" y =" y(k,m)," k =" a" p =" b"> 0
Melalui substitusi diperoleh persamaan pertumbuhan kapital sebagai berikut:
dK/K = a P/b + Sp/K
Sehingga pertumbuhan aktual kapital merupakan penjumlahan antara forced saving (aP/b) dan tabungan yang direncanakan untuk setiap unit kapital atau Sp/K. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dorongan terhadap tabungan dapat terjadi apabila terdapat kelebihan permintaan yang akan berakibat pada adanya peningkatan investasi. Kemudian investasi akan menimbulkan inflasi yang akan meredistribusi pendapatan dari para penerima upah dan mencegah terjadinya realisasi konsumsi yang direncanakan.
Pajak Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi. Model Inflationary Finance yang standar menyatakan inflasi sebagai fungsi dari penerimaan (revenue) yang dapat diekspresikan sebagai berikut:
R(P e) = P e x1 = Pex0 e-aPe
Dimana x0 merupakan rasio money-income ketika inflasi yang diharapkan adalah nol, sehingga tingkat bunga nominal sama dengan tingkat bunga riil i1 = r0, dan x1 adalah rasio money-income ketika inflasi yang diharapkan adalah P e, sehingga i1 = r0 + P e.
Grafik 2 menjelaskan perolehan pemerintah dari penciptaan uang yang akan mendorong inflasi. Penerimaan pemerintah riil yang bersumber pada penciptaan uang akan menciptakan pajak inflasi yang dinyatakan oleh ABCD. Sebagaimana ditunjukkan dalam model, permintaan uang riil berbanding terbalik dengan inflasi yang diharapkan atau tingkat bunga nominal. Hal tersebut membawa konsekuensi ukuran penerimaan riil dari pajak inflasi merupakan fungsi dari inflasi yang diekspektasi dan dengan mengikuti kurva Laffer yang pada awalnya meningkat kemudian menurun seiring dengan inflasi, membawa implikasi bahwa terdapat penerimaan dengan tingkat inflsi yang maksimal.
Grafik 3:
Penerimaan Inflasi Riil dari Penciptaan Uang
Interest rate


A D

i1

i0
B C
0 X1 X0 maximum real balance ratio
Dalam pemikiran Cagan, tingkat inflasi berada pada posisi steady state pada saat pemerintah dapat memaksimumkan penerimaan pajak inflasi. Dalam kondisi steady state penerimaan dari inflasi (RP) sama dengan stock real balances kali pertumbuhan nomnal uang(mm). Akan tetapi ketika ekonomi tumbuh pada tingkat gy, hasil pajak inflasi sama dengan stok of real balances dikalikan dengan penjumlahan pertumbuhan uang nominal dan pertumbuhan output kali elastisitas permintaan uang (Friedman, 1971), atau
RP = m (m + hm gy)
Dalam model hiperinflasi Cagan, permintaan uang tergantung pada ekspektasi inflasi, Pe, penerimaan pada saat inflasi maksimum P* ditentukan oleh semi elastisitas permintaan uang riil (a)
P* = 1/a
P** = 1/a - hm gy
Persamaan di atas dapat digunakan untuk mengkalkulasi penerimaan maksimum dari kondisi inflasioner di negara sedang berkembang yang mengalami tingkat inflasi tinggi. Khan (1980) mengestimasi semielastisitas permintaan uang riil dengan memperhatikan inflasi yang diekspektasi di beberapa negara sedang berkembang dan memperoleh hasil angka semielastisitas berada di antara 3 - 5. Dengan mensubstitusikan hasil estimasi tersebut maka diperoleh tingkat penerimaan akan maksimum pada tingkat inflasi berkisar antara 20% hingga 30% per tahun.
Dalam persamaan di atas maksimasi penerimaan pada kondisi inflasioner lebih rendah di perekonomian yang sedang tumbuh dibandingkan dengan perekonomian yang stagnan. Sebagai contoh, jika diasumsikan bahwa perekonomian tumbuh pada tingkat 4% per-tahun dan elastisitas pendapatan untuk permintaan uang riil 2%, sebagaimana Khan diperoleh penerimaan maksimum apabila tingkat inflasi berada di antara 12% - 25% per-tahun.
Akan tetapi, Tanzi (1989) melihat pada permasalahan dari perspektif kontribusi neto inflasi terhadap total penerimaan pemerintah. Tanzi menyarankan perdebatan mengenai inflationary finance meliputi dampak sebaliknya dari inflasi terhadap sistem perpajakan konvensional, sehingga dampak neto inflasi terhadap total penerimaan pemerintah dapat digunakan sebagai kriteria untuk memutuskan apakah inflationary finance secara ekonomis dapat dipertaggung jawabkan.
Tanzi memperoleh fakta bahwa di negara sedang berkembang sistem perpajakan bersifat inelastis dan memiliki faktor lag yang panjang, yang membawa implikasi penerimaan riil dari pajak akan menurun dengan meningkatnya inflasi. Asumsi sistem perpajakan yang unitary elastic, yang digunakan Tanzi, dipakai untuk menkalkulasi dampak inflasi terhadap rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan (tax burden):
TP = T0/(1+P)x/12
Dimana TP adalah rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan pada tingkat inflasi tahunan P, dan T0 adalah rasio penerimaan pajak terhadap pendapatan ketika inflasi nol, dan x adalah lag dalam periode bulanan.
Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, dalam perekonomian yang sedang tumbuh penerimaan dari pembiayaan defisit atau penerimaan dari pajak inflasi dinyatakan sebagai:
RP = m (P + hm gy)
Maka penerimaan total pemerintah atau penerimaan dari pajak konvensional ditambah dengan penerimaan dari pajak inflasi dinyatakan dengan:
TRP = RP + TP
Grafik 4 menunjukkan bahwa penerimaan pajak inflasi (kurva OA) adalah nol pada saat inflasi nol dan mencapai nilai maksimum pada saat inflasi P* (titik E0). Penerimaan pajak konvensional akan maksimum ketika inflasi nol (titik B) tetapi akan terus menurun dengan kenaikan inflasin (kurva BC). Total penerimaan, yang merupakan penjumlahan horisontal penerimaan pajak inflasi dan penerimaan pajak konvensional sebagaimana ditunjukkan kurva BD, akan maksimum pada titik E1 ketika inflasi mencapai P**. Sebagai catatan tambahan, ketika inflasi berada pada tingkat P** walaupun penerimaan pajak inflasi ORP** kontribusi neto penerimaan pajak inflasi terhadap penerimaan pemerintah secara keseluruhan hanya sebesar BF.
Grafik 4:
Inflasi, Penerimaan Pajak dan Pembiayaan Inflasioner
inflation

inflation tax inflation +
revenue conventional tax
conventional revenue
tax revenue
P* E0

P** E1





revenue -
0 RP** RP* B F income
ratio

Mundell Model. Mundell mengkombinasikan analisis pertumbuhan dengan teori kuantitas uang dan menurunkannya melalui keterkaitan antara pembiayaan inflasioner dan pertumbuhan ekonomi.
P = [(v/f r) - 1] gy
dimana P adalah inflasi, gy adalah pertumbuhan ekonomi, v adalah kecepatan sirkulasi uang, f adalah fraksi dari reserve ratio dalam kaitannya dengan cadangan perbankan dan uang nominal, dan r adalah produktifitas kapital atau output-capital ratio.
Akan tetapi, hubungan tadi didasarkan atas asumsi bahwa kecepatan peredaran uang tidak pernah berubah terhadap inflasi. Mundell mengembangkan sebuah kasus dimana kecepatan peredaran uang merupakan fungsi menaik dari inflasi, sehingga:
V = v0 + wp
Dimana v0 merupakan tingkat kecepatan pada saat inflasi nol, dan w koefisien inflasi. Melalui substitusi dapat diperoleh hubungan sebagai berikut:
p = [(v0/fr) - 1] gy / [1 - (w/fr)gy]
Persamaan di atas menunjukkan bahwa inflasi bukan merupakan fungsi linear pertumbuhan ekonomi. Rasio antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi meningkat dengan adanya pertumbuhan ekonomi, dimana dapat diartikan bahwa semakin tinggi pertumbuhan pembiayaan dari penciptaan uang maka akan semakin tinggi tambahan marginal inflasinya. Apabila inflasi diasumsikan berada pada tingkat tidak terhingga maka pertumbuhan ekonomi yang mungkin terjadi adalah:
gy = fr / w
Aspek Finansial dan Pertumbuhan Ekonomi
Teori-teori yang akhir-akhir ini berkembang dan juga hasil-hasil riset menyatakan bahwa pasar finansial dapat memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sistem finansial yang efisien akan mengalihkan kapital dari kelompok penabung ke peminjam, atau hal lain yang lebih produktif. Sebagaimana diungkapkan oleh Stiglitz (Hossain and Chowdhury, 1996: 32):
"Financial markets essentially involve the allocation of resources. They can be thought of as the ‘brain’ of the entire economic system, the central locus of decision making. If they fail, not only will the sector’s profit be lower than would otherwise have been, but the performance of the entire economic system may be impaired."
Sejak awal 1970-an pandangan bahwa kebijakan finansial yang represif akan meningkatkan investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi memperoleh banyak kritikan dari para pengikut prior-saving school. Yang menempati mashab ini adalah McKinnon dan Shaw dengan pola pikir Klasiknya. Mereka berdua pada dasarnya menyatakan bahwa kebijakan finansial yang represif, berupa tingkat bunga riil rendah atau negatif, akan memiliki dampak yang menghambat pertumbuhan. Dampak yang dimaksud adalah: (1) kebijakan finansial yang represif akan mengakibatkan masyarakat mendorong pengeluaran konsumsinya dan lebih senang memegang dalam bentuk aset riil daripada aset finansial. Karena aset riil lebih baik dijadikan alat hedging terhadap perkembangan inflasi. (2) kebijakan represif akan menciptakan kelebihan permintaan untuk dana-dana yang dapat diinvestasikan, yang mungkin akan menciptakan masalah melalui credit rationing ataupun aktifitas rent-seeking. (3) kebijakan represif akan menciptakan inefisiensi investasi dan mendorong investor untuk terjun dalam investasi yang padat modal yang mungkin sekali tidak sesuai dengan faktor endowment di negara sedang berkembang (McKinnon, 1993). Berikut ini akan dijabarkan secara lebih jelas konsep dari McKinnon.
Model McKinnon tentang aspek finansial dalam pembangunan ekonomi dapat diterapkan pada berbagai perekonomian yang memiliki pasar modal yang sedang berkembang. Para wiraswastawan memiliki kendala berupa kemampuan pembiayaan yang hanya dapat dipecahkan melalui perbankan. Selanjutnya, sebelum membentuk berbagai macam investasi, para investor membutuhkan akumulasi modal dalam bentuk moneter. Dengan kata lain, uang dicadangkan sebagai upaya pembentukan akumulasi kapital.
Beberapa simplifikasi dari model McKinnon dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
(2) Md = md (y,iyr,d-p);
(3) Iyr = iyr (rk,d-p);
(4) iyr = syr = s
(5) s = s(gy,d-p)
(6) p = p (m,gy)
(7) gy = rs
md = permintaan uang riil; y = pendapatan atau output riil; iyr = rasio antara investasi-pendapatan, d-p = tingkat bunga deposito riil, rk hasil riil atas kapital fisik; syr rasio tabungan-pendapatan atau propensity to save (s); g tingkat pertumbuhan pendapatan atau output; p = pertumbuhan faktor penentu uang nominal eksogen; r = rasio output-kapital.
Persamaan (2) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang saling melengkapi antara uang dan kapital. Semua hasil derivasi parsial terhadap permintaan uang riil bernilai positif. Sifat komplementer antara uang dan kapital juga ditunjukkan oleh persamaan (3). Persamaan (5) dan (7) menunjukkan dinamika hubungan antara tabungan dan pertumbuhan ekonomi. Pada posisi keseimbangan, pertumbuhan pendapatan akan mendorong tabungan yang akan mendukung investasi yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Grafik 4 menunjukkan bahwa dampak reformasi di sektor finansial terhadap marginal propensity to save (mps). E mewakili kondisi keseimbangan pertumbuhan output dimana mps membentuk sudut 45°.
Grafik 5:
Kemampuan Menabung dan Pertumbuhan Ekonomu
saving
H F D

G B

C
rs (gy,q*)
E rs (gy,q)
A
45°
0 gy g*y tingkat
pertumbuhan


Variabel propensity to save garis AB diGrafikkan sebagai fungsi dari tingkat pertumbuhan output. Asumsi bahwa struktur finansial direpresi dengan tingkat bunga rendah atau negatif dan rasio money-income juga rendah. Di samping itu, perekonomian dinotasikan dengan q. Variabel propensity to save garis CD di Grafikkan sebagai fungsi dari pertumbuhan output setelah terjadi reformasi sektor finansial yang meningkatkan secara tajam hasil riil dari memegang aset dalam bentuk uang dan rasio money-income. Reformasi sektor finansial dinotasikan dengan q*. Konsekuensi yang dihadapi apabila terjadi reformasi sektor finansial adalah terjadinya pergeseran garis tabungan dari AB ke CD yang kemiringannya, jika dipandang dari sisi gy*, lebih curam daripada AB. Keseimbangan pertumbuhan output yang baru adalah gy* yang diwarnai oleh tingginya propensity to save.
Tambahan tingkat tabungan mencakup dua bagian, yaitu: (1) EG yang merupakan efek kecil reformasi finansial terhadap tabungan. Dalam kamus McKinnon disebut dengan pure intermediation effect, yaitu peningkatan dalam propensity to save pada tingkat pertumbuhan pendapatan tertentu. (2) GH. Pada saat pendapatan diharapkan tumbuh lebih cepat karena realisasi tabungan dan investasi meningkat, maka efek portofolio ketika individu menjaga keseimbangan portofolionya dalam menghadapi kemajuan ekonomi yang terjadi. Kemiringan garis CD yang tajam mengindikasikan bahwa dampak pertumbuhan terhadap tingkat tabungan lebih besar dalam perekonomian yang secara finansial terreformasi dibandingkan dengan perekonomian yang represif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa esensi model McKinnon adalahreformasi di sektor finansial akan mendorong tabungan dan pertumbuhan ekonomi.
Bukti Empiris Lintas Negara
Analisis mengenai hubungan kausalitas antara sektor moneter dan pertumbuhan ekonomi akan dilakukan dengan menggunakan variabel inflasi (P), tingkat monetisasi (M2/Y) dan pertumbuhan ekonomi (GR). Dari hasil perhitungan kausalitas Granger yang telah dilakukan untuk ke-19 negara amatan, diperoleh hasil bahwa hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dengan pertumbuhan ekonomi riil di beberapa negara memiliki perbedaan. Dari sembilan belas negara amatan, hanya negara Switzerland yang memiliki hubungan kausalitas dua arah (bidirectional). Di samping itu terjadi pengelompokan hasil yang menarik, yaitu negara maju memiliki kecenderungan untuk mengarah pada kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomilah yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga atau inflasi (P?GR). Sedangkan di negara yang sedang berkembang, tidak menunjukkan karakteristik bahwa sektor moneter berperan penting dalam perekonomian riil atau sebaliknya (bersifat independent). Di negara sedang berkembang, hanya Indonesia, Singapore dan South Africa yang menunjukkan fenomena yang serupa dengan negara industri, yaitu peningkatan harga umum disebabkan karena adanya pertumbuhan ekonomi.
Fakta ini menunjukkan bahwa pada perekonomian negara maju, kebijaksanaan moneter bukanlah merupakan kebijakan utama, sebagaimana di Indonesia misalnya. Karena kebijakan moneter lebih merupakan kebijakan yang berorientasi pada perubahan jangka pendek. Sedangkan perubahan yang berdampak jangka panjang adalah kebijakan di sektor riil, termasuk fiskal. Di samping itu, fakta bahwa di negara sedang berkembang terdapat kecenderungan tidak terjadinya hubungan kausalitas atau independent, antara sektor moneter dengan sektor riil dapat diartikan sebagai (1) permasalahan ekonomi di negara sedang berkembang sangat kompleks dan bersifat struktural, (2) perekonomian di negara sedang berkembang belum mengarah ke bentuk mekanisme pasar yang efisien sehingga perangkat ekonomi makro tidak dapat mencapai hasil sebagaimana negara yang memiliki sistem pasar yang efisien.
Sementara itu pengujian hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan sektor moneter dalam konteks tingkat monetisasi perekonomian (M2/Y) tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Dengan demikian, variabel M2/Y dianggap tidak mampu memberikan Grafikan seperti yang diharapkan.

Tabel 1a:
Kausalitas Pertumbuhan Ekonomi - Sektor Moneter
NEGARA
GR?P*
P?GR*
GR?M2Y*
M2Y?GR*
Australia
0.49
0.02
0.35
0.74
Canada
0.18
0.00
0.02
0.85
Japan
0.34
0.01
0.21
0.97
New Zealand
0.78
0.06
0.65
0.58
Portugal
0.29
0.18
0.33
0.01
Spain
0.62
0.02
0.06
0.15
Sweden
0.64
0.09
0.22
0.75
Switzerland
0.06
0.10
0.34
0.78
United Kingdom
0.59
0.03
0.58
0.72
Argentina
0.07
0.88
0.53
0.22
Chili
0.10
0.26
0.55
0.35
Indonesia
0.72
0.07
0.72
0.79
India
0.01
0.43
0.22
0.03
Korea
0.74
0.28
0.91
0.56
Mexico
0.82
0.79
0.33
0.44
Morocco
0.75
0.74
0.36
0.14
Philippine
0.13
0.66
0.31
0.97
South Africa
0.29
0.18
0.31
0.40
Singapore
0.34
0.16
0.70
0.10
Keterangan: (*) merupakan nilai probabilitas
Dengan demikian pola hubungan antara sektor moneter - sektor riil dapat diringkas sebagai berikut:




Tabel 1b:
Pola Hubungan Kausalitas Sektor Moneter - Sektor Riil
GR®P
P®GR
Independent
GR®M2Y
M2Y®GR
Independent
4 negara
8 negara
7 negara
2 negara
3 negara
14 negara

Sebuah cara lain untuk mengamati apakah inflasi memiliki hubungan kausalitas dengan pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggunakan data internasional (data cross country) yang kemudian secara spesifik akan dibedakan antara inflasi moderat (lebih kecil dari 10%) dengan inflasi tinggi (lebih besar dari 10%). Hasil analisis trend dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Sumber: IMF, International Financial Statistics Yearbook (Lampiran)

Dari pemisahan derajad inflasi yang terjadi adalah adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan inflasi pada derajad yang moderat. Namun demikian derajad
Sumber: IMF, International Financial Statistics Yearbook (Lampiran)
korelasinya sangat kecil yaitu R-Sqr = 0.13, atau R = 0.361. Sedangkan pada derajad inflasi yang tinggi, terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi melemah, yaitu angka R-Sqr = 0.21 atau R = 0.459. Fakta ini juga menunjukkan bahwa inflasi bukanlah sebuah mekanisme yang sederhana jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Senada dengan kesimpulan di atas adalah kesimpulan yang dibuat oleh Hossain and Chowdhury (1996: 63) yang memfokuskan penelitiannya di negara sedang berkembang.
Indikator yang digunakan untuk merepresentasikan sektor finansial adalah real deposit rates (RDEP) dan real interest rate (RINT). RDEP dan RINT digunakan sebagai representasi sector finansial dengan alasan bahwa tingkat bunga merupakan variabel kunci dalam penetapan kebijakan di sektor finansial. Apabila tingkat bunga riil negatif maka hampir dapat dipastikan bahwa kebijakan sektor finansialnya adalah represif, demikian pula sebaliknya, apabila tingkat bunga riil positif maka kebijakan liberalisasi diterapkan di sektor finansial.
Dari penetapan kedua indikator tersebut dapat dilihat hasil kausalitas antara sektor finansial dengan pertumbuhan ekonomi seperti berikut tabel ini.
Tabel4a:
Kausalitas Pertumbuhan Ekonomi - Sektor Finansial
NEGARA
GR?RDEP*
RDEP?GR*
GR?RINT*
RINT?GR*
Australia
0.73
0.09
0.33
0.54
Canada
0.02
0.54
0.29
0.80
Japan
0.33
0.02
0.53
0.03
New Zealand
-
-
0.97
0.05
Portugal
0.42
0.05
0.29
0.10
Spain
0.78
0.32
0.88
0.21
Sweden
0.50
0.20
0.10
0.27
Switzerland
-
-
0.46
0.27
United Kingdom
0.35
0.11
0.36
0.49
Argentina
0.36
0.74
0.45
0.61
Chili
0.07
0.16
0.05
0.36
Indonesia
0.31
0.06
0.01
0.78
India
0.10
0.16
0.10
0.06
Korea
0.36
0.01
0.04
0.83
Mexico
0.71
0.34
-
-
Morocco
-
-
-
-
Philippine
0.49
0.92
0.39
0.50
South Africa
0.04
0.51
0.01
0.59
Singapore
0.86
0.42
0.70
0.10
Keterangan: (*) merupakan nilai probabilitas atau derajad signifikansi.
Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa dari sampel yang digunakan (19 negara) tidak terdapat kecenderungan yang mengarah pada salah satu tesis, yaitu tesis sektor finansial mempengaruhi pertumbuhan ekonomi atau, tesis kedua, pertumbuhan ekonomi mempengaruhi sektor finansial. Kesimpulan tersebut dapat dilihat dari seimbangnya negara yang mengalami kecenderungan GR?sektor finansial atau sebaliknya.
Dari tabel di atas terlihat bahwa kecenderungan bidirectional hanya ditemukan di negara India pada bentuk hubungan GR«RINT. Sedangkan kecenderungan GR?RDEP terjadi pada Canada, Chili, India, dan South Africa. Kecenderungan terjadinya RDEP?GR terjadi pada Australia, Japan, Portugal, Indonesia, dan Korea. Kecenderungan terjadinya GR?RINT ada pada negara Sweden, Indonesia, India, dan South Africa. Dan kecenderungan terjadinya RINT?GR ada pada negara Japan, New Zealand, Portugal, India, dan Singapore.

Tabel 4b:
Pola Hubungan Kausalitas Pertumbuhan Ekonomi - Sektor Finansial
GR®RDEP
RDEP®GR
Independent
GR®RINT
RINT®GR
Independent
4 negara
5 negara
8 negara
4 negara
5 negara
8 negara

Hasil perhitungan kausalitas sektor finansial dengan pertumbuhan ekonomi berarti serupa dengan hasil perhitungan kausalitas yang dilakukan terhadap sektor moneter dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, hubungan antara sektor moneter, sektor finansial terhadap pertumbuhan ekonomi, yang merupakan representasi dari sektor riil, tidak cukup hanya dijelaskan melalui hubungan secara langsung antara kedua sektor tersebut. Selain itu, hubungan keduanya, baik sektor moneter®sektor riil maupun sektor finansial®sektor riil juga tidak menunjukkan adanya kecenderungan memiliki bentuk hubungan dua arah (bidirectional). Perbedaan hubungan kausalitas yang diperoleh pada negara sampel membawa konsekuensi pada pembentukan model estimasi.
Kesimpulan

Dari uraian teoritis dan perhitungan hasil empiris yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Perdebatan seputar dampak sektor moneter, sektor finansial terhadap sektor riil agaknya harus dipahami dalam konteks perekonomian yang telah menjalankan sistem pasar secara efisien.
2. Bukti empiris mengenai tidak terdapat kecenderungan umum bahwa sektor moneter dan sektor finansial memiliki hubungan dua arah dengan sektor riil, bahkan banyak yang independent khususnya di negara sedang berkembang menunjukkan bahwa perekonomian di negara sedang berkembang akan lebih baik apabila dipahami secara lebih kompleks mengingat perekonomian di neara sedang berkembang banyak sekali terjadi structural rigidity yang memungkinkan terjadinya distorsi pasar atau kegagalan pasar.























REFERENSI
Arestis, P. and P. Demetriades, 1997. Financial Development and Economic Growth: Assesing the Evidence. The Economic Journal, 107: 783-799.
Bencivenga, V.R. and B.D. Smith, 1991. Financial Intermediation and Endogenous Growth. Review of Economic Studies, 58: 195-209.
Demetriades, P.O. and K.B. Luintel, 1996. Financial Development, Economic Growth and Banking Sector Controls: Evidence from India. The Economic Journal, 106: 359-374.
Diaz-Alejandro, C., 1985. Good-bye Financial Repression, Hello Financial Crash. Journal of Development Economics, 19 (1): 1-24.
Dornbusch, R. and A. Reynoso, 1989. Financial Factors in Economic Development. American Economic Review, 79 (2): 204-209.
Dornbusch, R. and J.A.Frenkel, 1973. Inflation and Growth: Alternative Approaches. Journal of Money Credit and Banking, 5: 141-156.
Friedman, M., 1971. Government Revenue from Inflation. Journal of Political Economy, 79: 846-856.
Friedman, M., 1992. Quantity Theory of Money. Dalam Eatwell, J. (eds.), The New PalgraveDictionary of Money and Finance, vol.3. Macmillan.
Fry, M.J., 1997. In Favour of Financial Liberalisation, The Economic Journal, 107: 754-770.
Gujarati, D.N., 1995. Basic Econometrics, McGraw-Hill Book Co.
Hermes, N. and R. Lensink (ed.), 1996. Financial Development and Economic Growth: Theory and Experiences from Developing Countries. Routledge.
Hossain, A. and A. Chowdhury, 1996. Monetary and Financial Policies in Developing Countries: Growth and Stabilization. Routledge.
Jung, W.S., 1986. Financial Development and Economic Growth: International Evidence. Economic Development and Cultural Change, 34: 333-346.
Kaldor, N., 1955-1956. Alternative Theories of Distribution. Review of Economic Studies, 23: 83-100.
Kalecki, M., 1976. Eassays on Development Economic. Harvester Press.
Khan, M., 1980. Monetary Shocks and the Dynamics of Inflation. IMF Staff Papers, 27 (2): 250-284.
Khatkhate, D.R., 1972. Analytical Basis of the Working of Monetary Policy in Less Developed Countries. IMF Staff Papers, 19 (3): 533-558.
King, R.G. and R. Levine, 1993. Finance and Growth: Schumpeter Might Be Right. Quaterly Journal of Economics, 108: 717-737.
Levhari, D. and D. Patinkin, 1968. The Role of Money in Simple Growth Model. American Economic Review, 58: 713-753.
Marty, A.L., 1968. The Optimal Rate of Growth of Money. Journal of Political Economy, 76: 860-873.
McKinnon, R.I., 1993. The Order of Economic Liberalization: Financial Control in the Transition to a Market Economy. The John Hopkins University Press.
Metzler, L.A., 1951. Wealth, Saving, and the Rate of Interest. Journal of Political Economy, 59: 93-116.
Mundell, R., 1963. Inflation and Real Interest. Journal of Political Economy, 71: 280-283.
Mundell, R., 1965. Growth, Stability and Inflationary Finance. Journal of Political Economy, 73: 97-109.
Mundell, R., 1971. Monetary Theory. Goodyear Publishing.
Newbold, P., 1984. Statistics for Business and Economics. Prentice-Hall, Inc.
Orphanides, O. and R.M. Solow, 1990. Money, Inflation and Growth, dalam Friedman, B.M. and F.H. Hahn (eds.), Handbook of Monetary Economics, vol.1., North-Holland.
Ramanathan, R., 1989. Introductory Econometrics with Applications. Harcourt Brace Jovanovich, Pub.
Robinson, J., 1962. A Model of Accumulation, dalam Eassays in the Theory of Economic Growth, Macmillan.
Sen, A.K., 1988, The Concept of Development, dalam Chenery, H dan Srinivasan, T.N. (ed.), Handbook of Development Economics, Vol.I, Elsevier Science Publishers, B.V.
Singh, A., 1997. Financial Liberalisation, Stock markets and Economic Development. The Economic Journal, 107: 771-782.
Tanzi, V., 1989. Lags in Tax Collection and the Case for Inflationary Finance: Theory with Simulations, dalam Blejer, M. and K. Chu (eds.), Fiscal Policy, Stabilization, and Growth in Developing Countries, International Monetary Fund.
Tobin, J., 1965. Money and Economic Growth. Econometrica, 33: 671-684.
Wonnacott, T.H. and R.J. Wonnacott, 1990. Introductory Statistics. John Wiley and Sons.








N E G A R A
% G D P 1995
% C P I 1995
INDUSTRIAL COUNTRIES


USA
2.0
2.8
Canada
2.3
2.2
Australia
3.1
4.6
Austria
1.8
2.3
Denmark
2.6
2.1
Finland
4.2
1.0
France
2.2
1.8
Iceland
2.2
1.7
Netherlands
2.3
1.9
Norway
3.3
2.5
Spain
3.0
4.7
Sweden
3.0
2.5
Switzerland
0.7
1.8
United Kingdom
2.4
3.4
DEVELOPING COUNTRIES


Benin
6.0
14.5
The Gambia
-4.1
7.0
Sierra Leone
-2.8
26.0
South Africa
3.3
8.7
Tunisia
3.5
6.2
Bangladesh
4.4
5.8
Indonesia
8.0
9.4
South Korea
9.0
4.5
Lao People’s Democratic Republic
7.0
19.6
Myanmar
9.8
25.2
Philippines
4.8
8.1
Cyprus
5.0
2.6
Czech Republic
4.8
9.1
Latvia
-1.6
25.0
Lithuania
2.6
39.7
Slovak Republic
7.4
9.9
Slovenia
4.9
12.6
Egypt
4.6
8.3
Jordan
6.4
2.4
Belize
3.7
2.9
Bolivia
3.7
10.2
Chile
8.5
8.2
Costa Rica
2.5
23.2
Dominican Republic
4.7
12.5
Ecuador
2.3
22.9
El Salvador
6.1
10.0
Haiti
3.8
25.5
Honduras
3.6
29.5
Mexico
-6.9
35.0
Nicaragua
4.2
10.9
Paraguay
4.2
13.4
Peru
7.0
11.1
Uruguay
-2.4
42.2
Venezuela
2.2
59.9
Sumber: IMF, International Financial Statistics.

Postingan populer dari blog ini

MENGELOLA STRES KERJA

Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Metode Kerja Kelompok

PERBEDAAN KARAKTERISTIK JASA DIBANDINGKAN PRODUK MANUFAKTUR IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI KOMUNIKASI JASA