DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP MASYARAKAT TERASING

JURNAL BISNIS DAN EKONOMI, MARET 1999
DAMPAK PEMBANGUNAN TERHADAP MASYARAKAT TERASING
(Adaptasi Masyarakat Terasing terhadap Pembangunan)

Oleh : Sandy Dharmakusuma
STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK
Telah banyak terjadi contoh permasalahan dalam penanganan yang salah terhadap masyarakat terasing. Yang jelas terlihat adalah masalah suku bangsa Indian di Amerika Serikat yang tersingkir dari tanah mereka dan ditampung dalam reservasi- reservasi (yang tanahnya tidak produktif), dimana mereka kehilangan kebebasan (seperti dikurung: tidak boleh keluar dari reservasi), dengan makanan yang diberikan oleh US Indian Bureau. Di Amazon, Brazil, pembukaan hutan selain mengakibatkan kerusakan rainforest juga mengakibatkan punahnya/berkurangnya suku bangsa Indian di daerah itu (suku Jivaro,dsb), yang diakibatkan karena mereka tidak immune terhadap bibit penyakit yang dibawa pendatang.

I. PENDAHULUAN
Pada era pembangunan sekarang, kita dihadapkan dengan berbagai dilema. Diantaranya adalah dalam rangka memajukan masyarakat terasing tanpa menimbulkan dampak-dampak yang negatif terhadap masyarakat itu sendiri.
Banyak program pemerintah yang menyarankan pembukaan daerah suku terasing untuk kepentingan negara, seperti di Irian untuk kepentingan pertambangan, dan perkebunan. Juga ada yang menyarankan pemukiman ulang terhadap masyarakat itu, dengan alasan untuk menghindari kerusakan lingkungan seperti berladang pindah (slash and burn). Serta ada pula yang dengan alasan bahwa untuk meningkatkan taraf hidup mereka agar sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan", harus ada perubahan terhadap masyarakat tersebut.
Timbul pertanyaan: Apakah benar pendapat seperti itu?
Bukankah masyarakat suku terasing itu juga mempunyai hak untuk memilih pola dan cara hidupnya sendiri, selama tidak melanggar hukum? Apakah mereka lebih bodoh daripada kita tentang cara-cara hidup berasaskan lingkungan? Apakah dengan mengubah cara hidup mereka, mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru? Dan yang paling penting: "Jalan manakah yang terbaik?" Telah banyak terjadi contoh permasalahan dalam penanganan yang salah terhadap masyarakat terasing. Yang jelas terlihat adalah masalah suku bangsa Indian di Amerika Serikat yang tersingkir dari tanah mereka dan ditampung dalam reservasi-reservasi (yang tanahnya tidak produktif), dimana mereka kehilangan kebebasan (seperti dikurung: tidak boleh keluar dari reservasi), dengan makanan yang diberikan oleh US Indian Bureau. Di Amazon, Brazil, pembukaan hutan selain mengakibatkan kerusakan rainforest juga mengakibatkan punahnya/berkurangnya suku bangsa Indian di daerah itu (suku Jivaro,dsb), yang diakibatkan karena mereka tidak immune terhadap bibit penyakit yang dibawa pendatang.

II. ADAPTASI
Apakah sebenarnya konsep adaptasi itu? Banyak pendapat dan pendekatan tentang adaptasi. Diantaranya: Pendekatan Deterministik (Semple et al), Pendekatan Posibilistik (Kroeber et al), Pendekatan Cultural Ecology (Stewart, Geerst et al), dan Pendekatan Ekosistem (Rappaport et al). Tapi pada dasarnya adaptasi adalah usaha dari makhluk hidup (terutama manusia) untuk bereaksi terhadap keadaan luar/lingkungan yang berubah, termasuk intervensi, gangguan dan ancaman (Surjani, 1984). Hal ini sesuai dengan konsep homeoesthasis yang dikemukakan oleh Eugene P.Odum: "Homeoesthasis adalah suatu sistim biologis untuk tetap bertahan terhadap adanya perubahan dan untuk tetap berada dalam keseimbangan dinamis (state of equilibrium) dengan sekitarnya." (Odum, 1971).
Adaptasi dalam ekologi juga sejalan dengan konsep-konsep tersebut. Terri Rambo mengemukakan bahwa manusia akan melakukan strategi yang sesuai dengan pengetahuan budayanya untuk menghadapi perubahan. Manusia yang mempunyai strategi yang tepat akan berhasil, yang tidak mempunyai strategi yang tepat akan gagal dan mati (process of natural selection) (Rambo, 1983).
Adaptasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Adaptasi Fisiologis :
Berhubungan dengan sistim metabolisme, seperti juga seseorang yang tinggal di dataran rendah harus tinggal di dataran yang sangat tinggi (Pegunungan Himalaya). Orang tersebut harus
menyesuaikan suhu, tekanan udara dan kadar oksigen yang lebih tipis untuk bisa bertahan hidup.
2. Adaptasi Morfologis :
Berhubungan dengan struktur tubuh. Misalnya orang Eskimo pendek dan kekar karena tinggal didaerah Artik, dan orang Afrika tinggi dan langsing karena tinggal di udara panas.(Soemarwoto, 1985).
3. Adaptasi Kultural :
Berhubungan dengan teknologi, yang disesuaikan dengan keadaan sekitar.


Jadi adaptasi masyarakat terasing terhadap pembangunan banyak berhubungan dengan Cultural Adaptation, bukan pada fisiologis dan morfologis.
Adaptasi sosial-budaya tentunya tak dapat dilakukan secara tiba-tiba (overnight), melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama akan terjadi adaptasi karena perubahan teknologi
(yang termudah), perilaku, pendidikan, kegiatan bermasyarakat, rumah tangga, agama dan kepercayaan.Cohen menyebutkan bahwa adaptasi dapat diterangkan dalam 4 tahap:
Tahap pertama adalah adaptasi yang paling mudah dengan perubahan habitat: perubahan teknologi dan organisasi yang didapat dari hubungan-hubungan sosial/bermasyarakat/pergaulan.
Tahap kedua adalah terhadap bentuk hunian, rumah tangga, organisasi politik, dan kekerabatan.

Tahap ketiga adalah dalam agama dan kepercayaan.
Tahap keempat adalah yang paling sulit karena ini merupakan persepsi subyektif terhadap habitat, lingkungan, nilai-nilai/norma-norma yang berhubungan dengan mata pencaharian, pemeliharaan anak, taboo(pantangan), incest (hubungan sedarah), ritual-ritual/upacara-upacara, termasuk musik dan tarian (kebudayaan).
III. Masyarakat Terasing
Konsep masyarakat terasing menurut Departemen Sosial adalah sebagai berikut : Masyarakat yang taraf hidupnya sangat sederhana/terbelakang, tinggal didaerah terpencil, tersebar dan terasing dalam faktor sodial dan budaya, tidak ada hubungan fisik dan sosial budaya dengan dunia luar dan tak terjangkau oleh pembangunan. Karena mereka dianggap sangat primitif, tentulah mereka sangat percaya dan tergantung pada hukum dan kekuasaan/dominasi alam pada habitat mereka.
Ada 3 kategori dalam masyarakat terasing:

1. Kelana
Mereka yang tinggal berpindah-pindah. Hidup sangat sederhana dari berburu, menangkap ikan, atau meramu hasil hutan. Dipimpin oleh seorang ketua kelompok, mereka sangat curiga dengan orang luar. Jarang dari komunitas ini yang mau bergaul dengan orang luar. Contohnya adalah orang Baduy dalam.
2. Setengah Kelana
Mereka sedikit lebih maju, terbukti dengan dapat bercocok tanam dengan sistim tebang-bakar (slash and burn), suatu sistim pertanian yang berpindah-pindah. Setelah panen mereka akan membakar lahan itu dan pindah ke daerah lain.


3. Menetap Sementara
Mereka sudah sedikit lebih maju dari kategori setengah kelana, karena mereka telah dapat mempunyai rumah berupa gubuk-gubuk kayu dan mereka mau berdagang dengan masyarakat diluar lingkungannya di pasar.

Faktor-faktor yang menentukan dalam perbedaan ini tentunya tergantung pada faktor iklim, pendidikan dan kedekatan dengan orang luar, yang merupakan proses dari adaptasi itu sendiri.
Semakin maju suatu suku bangsa terasing, tentunya akan mempunyai culture dan adat istiadat yang berbeda dengan yang masih primitif. Bertani tentunya lebih maju daripada berburu, dan tergantung pada sistim kepemimpinannya, semakin maju culture suatu suku, akan semakin rumit sistim pemerintahannya. Sebagai contoh: Suku bangsa Inca dan Aztec yang mempunyai raja dan sistim birokrasi tinggi, dan bercocok tanam (jagung) adalah lebih maju daripada saudara-saudaranya yang tinggal sebagai pemburu parairie di Amerika Utara seperti suku bangsa Sioux, Comanche, dsb.
Masyarakat terasing di Indonesia diantaranya: suku Baduy (Jawa Barat), suku Dayak (Kalimantan), Tolare (Sulawesi Tengah).
Adapun perlu diingat bahwa sosial budaya mereka sangat unik dan tak terdapat pada masyarakat lain. Dan yang menarik bahwa kehidupan mereka mirip dengan suku-suku Indian di Amerika Utara dan di Amazon.
IV. KEHIDUPAN MASYARAKAT TERASING
Pada saat ini baiklah kita berpegang pada anggapan bahwa:
Mereka sangat terikat pada leluhur, dan upacara-upacara adat dalam upaya beradaptasi terhadap lingkungannya dan banyak taboo. Jika mereka melakukan adaptasi dengan daerah dan sosial budaya yang baru tentunya akan ada dampak terhadap adat istiadat masyarakat terasing tersebut, bahkan ada kemungkinan bahwa beberapa upacara/ritual akan hilang/tidak dilaksanakan lagi seiring dengan adaptasi mereka.
Upacara-upacara tersebut dapat juga dimasukkan dalam proses adaptasi mereka terhadap lingkungannya (sebagai cultural traits). Biasanya upacara-upacara ini berdasarkan pada kepercayaan/mitos terhadap kekuatan-kekuatan alam dan terhadap arwah leluhur. Izin dan perkenan dari arwah para leluhur untuk melakukan sesuatu harus didapatkan dahulu sebelum melakukan suatu kegiatan. Jika hal ini dilanggar maka akan terjadi kegagalan dalam kegiatan
tersebut, bahkan akan mendapat suatu "hukuman" pula.
Hubungan antara masyarakat ini dan dunia yang "halus" ini tentunya membutuhkan seorang/sesuatu media, yang biasanya diperankan oleh seorang "dukun", "shaman", "witchdoctor", yang mempunyai hak-hak exclusive dalam menjalankan ritual yang bersifat magis. Dalam melakukan ritual ini tentunya dibutuhkan "sesaji" atau korban yang disertai dengan mantera-mantera sang dukun. Bahkan kadang-kadang "sesaji" ini dapat berbentuk manusia (suku bangsa Aztec di Amerika Tengah). Pada dasarnya upacara-upacara ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara alam dengan manusia, jadi merupakan suatu homeoesthasis terhadap lingkungannya. Jika panen gagal yang disebabkan oleh kurangnya hujan, maka dianggap bahwa si "Dewa Hujan" sedang marah, dan harus diberi "sesaji" untuk meredakan kemarahannya.
Upacara-upacara yang biasanya dilakukan dapat dibagi dua yaitu :
1. Upacara yang berkaitan dengan produksi hasil bumi/panen, serta minta ijin.
2. Upacara penyembuhan dari penyakit.

1. Upacara yang berkaitan dengan hasil bumi.
Upacara ini adalah upacara yang populer, dilakukan oleh banyak masyarakat terasing. Di Indonesia sendiri, di Irian dilakukan upacara peletakan rumbim yang berfungsi dari batas (boundary) dari suatu daerah milik suku tersebut. Tentunya sebelum peletakan rumbim tersebut, harus diadakan suatu upacara apakah tepat saatnya untuk melakukannya, karena hal itu berarti
perang terhadap suku lain. Dalam kasus ini dapat dianggap sebagai upacara untuk minta ijin berperang dan meminta kemenangan. Hal ini sesuai dengan ritual suku Indian di Amerika untuk selalu minta ijin sebelum berperang, dan pada bangsa Yunani kuno untuk minta restu dewa Mars/Ares yang mereka anggap sebagai dewa perang.
Di Sulawesi, pada suku Tolare, diadakan upacara untuk mengetahui apakah tempat itu dapat digunakan sebagai ladang yang baru, perlu diketahui bahwa suku Tolare berladang pindah (slash and burn). Yang menarik pada suku Tolare ini, diadakan pemotongan ayam untuk digunakan jantung dan hatinya. Sang dukun akan melihat apakah jantung dan hati ayam tersebut keras atau lunak. Bila keras maka dianggap sebagai suatu ijin dari arwah leluhur untuk membuka tempat itu sebagai ladang, bila lunak, maka harus dipilih tempat lain. Hal ini sangat menarik karena mempunyai kesamaan dengan bangsa Romawi kuno (sebelum masuknya agama Kristen). Bangsa Romawi menggunakan unggas, ayam, bebek, atau burung merpati untuk mengetahui pertanda baik dan buruk dari "dewa", dengan melihat isi perut dari korban.
Juga adanya pantangan-pantangan yang terjadi untuk menjaga agar panen tidak gagal. Sebagai contoh, dapat dilihat pada suku Tolare, bahwa sewaktu panen padi, tak diperbolehkan kontak dengan orang luar (luar masyarakat), karena akan mendapat kesialan. Juga suami istri tak boleh bergaul sampai panen selesai. Juga terlihat adanya upacara minta hujan dan panas yang cukup agar panen tidak gagal, biasanya juga diadakan "sesaji". Suku-suku Indian di Amerika Utara bahkan mengorbankan manusia sebagai "sesaji". Suku Indian Pawnee tercatat melakukan pengorbanan seorang gadis dari suku Sioux pada 22 April 1837, yang tubuh dan darahnya ditaburkan pada kebun jagung agar mendapatkan panen yang baik. Juga suku bangsa Bagobo di Pulau Mindanau melakukan pengorbanan manusia pula sebelum mereka membajak sawah.
Setelah masa panen, akan diadakan suatu pesta panen untuk bersyukur kepada para arwah leluhur, dengan mengorbankan sebagian dari hasil panen itu. Didalam upacara ini terselip pula perencanaan untuk bertani pada masa tanam berikutnya, secara otomatis mereka menyiapkan bibit yang terbaik untuk ditanam pada masa tanam berikutnya.
2. Upacara penyembuhan
Pada upacara ini tentunya yang dianggap penyakit adalah roh-roh jahat atau kutukan dari arwah leluhur yang mengganggu si penderita, maka cara penyembuhan dilakukan secara magis dengan mengandalkan ritual-ritual dari sang dukun, disertai dengan pemberian obat-obat tradisional. Pada suku Irian, upacara penyembuhan ini dapat dianggap pula sebagai upacara hasil perang. Setelah menang perang, akan diadakan suatu pesta yang dianggap sebagai pesta penyembuhan.

V. DAMPAK PEMBANGUNAN DAN PEMBUKAAN DAERAH MASYA-RAKAT TERASING

Dalam ulasan diatas, selalu didapatkan persamaan dan perbandingan dengan suku-suku bangsa lainnya di luar negeri (Indian di Amerika), dengan adat istiadat dan taraf sosial budaya
yang setingkat dapat menimbulkan kekhawatiran akan nasib yang sama yang akan ditemui oleh masyarakat suku terasing di Indonesia.
Dengan dibukanya daerah habitat masyarakat suku terasing akan didapatkan keuntungan-keuntungan, antara lain :-masyarakat itu dapat meningkatkan taraf kehidupannya, sesuai dengan tujuan UUD 1945 pasal 27 ayat 2, mempelajari cara-cara hidup yang sehat dan higyenic.
habitat mereka dapat digunakan untuk tujuan lain, misalnya pertanian modern, pariwisata
masyarakat terasing itu dapat mengecap pendidikan dan meninggalkan agama mereka yang bersikap animisme, dinamisme dan imitative magic/homeoephatic
masyarakat itu dapat mempelajari cara-cara bertani yang baru, yang tidak merusak lahan, tidak slash and burn.

Tapi apakah semua manfaat itu dapat melebihi daripada kerugian yang akan dialami oleh masyarakat terasing itu? Sebagai contoh: kontak dengan orang luar dapat mengakibatkan tersingkirnya mereka. Environment sebagai penyaring dari pengaruh luar (cultural traits yang baru) akan berubah dan mereka harus berupaya untuk melakukan adaptasi baru dengan kondisi lingkungan yang berubah, dan tak semuanya akan berhasil. Yang tidak berhasil akan tersingkir, mati, hasil dari proses natural selection (tapi apakah dapat disebut natural selection, karena ada campur tangan manusia dalam pemindahan habitat?)
Dengan contoh suku bangsa Indian di Amerika, mereka tetap miskin, tidak bertambah maju peradabannya. Sebagian dari mereka meniru cara-cara yang buruk dari orang kulit putih: mabuk, minum alkohol, mencuri dan melakukan tindakan kriminal lainnya. Di Amazon, suku bangsa Jivaro hampir punah karena terkena penyakit yang mereka tak pernah mengenal sebelumnya. Tubuh mereka tidak mempunyai cukup antibodi, hasilnya, banyak yang mati.
Di Irian sekarang terjadi kelaparan, karena lahan yang mereka butuhkan untuk mendapatkan umbi-umbian sudah tak ada lagi, banyak terpakai oleh perkebunan-perkebunan seperti kelapa sawit dsb. Memang mereka diajarkan untuk mengganti primary food mereka dengan beras, tetapi harga beras cukup tinggi dan cukup sulit untuk diperoleh. Belum lagi jika ada permainan tak jujur daripada oknum-oknum tertentu yang menangani masalah makanan. Hal yang sama terjadi pada reservasi-reservasi orang Indian di Amerika, dimana terjadi ketidak jujuran oleh agen-agen federal yang dari Indian Bureau yang bertugas memberikan makanan terhadap orang-orang Indian.
Ada satu hal lagi, yaitu kehilangan ciri khas dari daerah itu sendiri. Dengan adanya masyarakat suku terasing itu, mereka merupakan bagian dari ekosistem yang endemik. Dengan adanya "kemajuan" sebagian dari kekhasan itu akan hilang. Yang jelas akan hilang adalah upacara yang berkaitan dengan panen (upacara hujan dan panas), dan pengobatan tradisional mereka akan tersingkir dengan konsep pertanian dan pengobatan modern yang belum tentu cocok bagi mereka.
Juga dengan metode pertanian modern (mesin dan teknologi tinggi), lingkungan akan rusak. Belum tentu masyarakat terasing "kalah" dalam hal pertanian, terbukti dalam upacara-upacara tersebut, terselip didalamnya cara-cara pertanian dan pelestarian lingkungan. Mereka tidak menggunakan zat-zat kimia beracun, mereka semuanya menggunakan cara-cara alami yang pada saat ini diakui sebagai cara yang terbaik oleh para pakar pertanian.
Masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat terasing dalam rangka adaptasi adalah tergantung pada letak pemukiman baru mereka. Jika mereka ditempatkan pada suatu habitat yang merupakan daerah habitat yang dihuni oleh masyarakat lain dapat menimbulkan masalah. Masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakat terasing antara lain: perbedaan letak geografis, iklim, sistim kehidupan/ hunian, serta sistim sosial. Jika letak hunian yang baru lebih dekat kota, akan menimbulkan sistim ekonomi yang berbeda pula.
Dapat diperkirakan bahwa kemampuan adaptasi bagi seseorang adalah tergantung pada tingkat pendidikan orang itu. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa anggota masyarakat suku terasing memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda.
Pada umumnya kemampuan adaptasi anggota masyarakat terasing tergantung pada 2 hal :
1. Keterikatan pada adat istiadat mengenai aturan leluhur, taboo (pantangan). Semakin terikat mereka pada nilai-nilai itu akan semakin sulit bagi mereka untuk beradaptasi.
2. Kemampuan beradaptasi tergantung pada tingkat pendidikan, penghasilan dan usia. Semakin tinggi tingkat pendidikan, dan penghasilan serta semakin muda usia anggota masyarakat itu, akan semakin mudah bagi individu itu untuk beradaptasi atau pindah ke lokasi pemukiman baru.
Hasil dari adaptasi itu dapat dilihat dari jumlah anggota masyarakat terasing yang tetap tinggal di daerah pemukiman yang baru (jika tak berhasil beradaptasi mereka akan pindah), dari
perubahan tingkat pendapatan, makanan, bentuk rumah yang mereka bangun (dari kayu menjadi batu), sikap mereka terhadap sang dukun dan pemimpin, serta upacara-upacara adat itu sendiri (upacara minta hujan tentunya tak diperlukan lagi dengan sistim irigasi), serta agama (apakah mereka tetap menganut animisme dan dinamisme atau berkonversi memeluk agama lain: Islam, Kristen dsb).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Memang sekarang kita menghadapi masalah yang pelik yaitu:lahan yang semakin sempit, dan akan terjadi ketidak-cukupan jika menggunakan cara berladang pindah. Pada prinsipnya pemerintah lebih suka jika para peladang pindah ini menetap.
Jalan keluar yang terbaik sebenarnya adalah membiarkan masyarakat suku terasing diam ditempat habitatnya. Hanya memberikan sedikit cara-cara/pengertian yang baru tentang pertanian, tetapi tetap memakai cara-cara alam. Hanya perubahan pada metode slash and burn ini yang perlu dirubah. Tentunya dengan penyuluhan yang hati-hati (dengan pembatasan-pembatasan agar orang yang tak berkepentingan masuk), dan dengan pembekalan cara-cara bertani menetap, penggunaan bibit unggul, pupuk alami, pembasmian hama secara alami menggunakan cara pests'natural enemies, dan serta penghijauan kembali lahan-lahan yang dibakar, serta pengetahuan pelestarian lingkungan. Dengan bekal-bekal tersebut beserta pengetahuan yang dimiliki mereka, tentulah dapat mengatasi masalah-masalah ini.
Alternative lain adalah memindahkan mereka, dengan istilah pemukiman ulang. Tapi cara ini sangat banyak kendalanya, seperti yang terjadi pada suku bangsa Indian Amerika. Jika harus
dimukimkan kembali, harap dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan dengan persiapan yang matang. Mereka akan berhadapan dengan lingkungan yang baru, nilai-nilai sosial, ekonomi yang baru. Dan janganlah memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua di lokasi pemukiman yang baru. Hal ini tentu tergantung pada sikap masyarakat setempat yang lebih dulu tinggal di habitat tersebut. Jika mereka tak berhasil dengan adaptasi, kebanyakan mereka akan meninggalkan daerah pemukiman baru dan kembali ke daerah yang lama, hanya untuk mendapatkan bahwa habitat mereka telah berubah, dan berarti mereka akan tersingkir. Tapi dengan alternative ini, dapat diperkirakan bahwa ke"khas"an masyarakat itu akan hilang,
nilai-nilai budaya dari masyarakat itu akan luntur, terserap oleh kemampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Suatu yang endemik akan hilang, jika masyarakat itu berhasil dengan adaptasi mereka. Apakah itu yang betul-betul kita inginkan?
Jalan manapun yang akan ditempuh, harus menggunakan perhitungan cost-benefit analysis secara lengkap dan matang agar tak menimbulkan dampak-dampak yang merugikan terhadap masyarakat terasing itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Cohen, A.Y.,"Man in Adaptation, The Cultural Present", Aldine Publishing Company, Chicago, 1974

Frazer, Sir James George, "The Golden Bough", Collier Books, New York, Paperback Edition, 1963

Nurhayati Nainggolan, "Pola Adaptasi Masyarakat Terasing", Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Thesis, 1990

Odum, Eugene P.,"Dasar Dasar Ekologi", Gajah Mada University Press, Yogyakarta, Edisi Ketiga, 1996 (Terjemahan Ir.Tjahjono Samingan, Msc, FMIPA-IPB, Bogor).

Rambo, Terri A.,"Conceptual Approaches to Human Ecology: A Sourcebook on Alternative Paradigms for the Study of Human Intercations with the Environment, East-West Environment and Policy Institute, Honolulu, 1981.

Soerjani, M.,"Lingkungan Hidup, Masalah dan Pengelolaan", Pusat Penerbitan Sumber Daya Manusia dan Lingkungan UI, Jakarta, 1985.

Soemarwoto,"Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan", Jembatan, Jakarta, 1985.

Soeryo Wibowo,"Catatan kelas SPD 523"

Postingan populer dari blog ini

MENGELOLA STRES KERJA

Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Metode Kerja Kelompok

PERBEDAAN KARAKTERISTIK JASA DIBANDINGKAN PRODUK MANUFAKTUR IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI KOMUNIKASI JASA